Sabtu, 15 September 2012

Rohis Dan Pemaknaan Islam Secara menyeluruh



 PLAK! Kena gampar lagi. Jangan tanya ini yang ke berapa, karena aku sendiri tidak tahu sudah berapa kali telapak tangan Pak Sahrul mendarat di pipi remajaku. Penyebabnya mungkin tidak bisa dianggap sepele oleh si penjagal itu; lupa bawa kamus bahasa Arab!

Paragraf di atas adalah potongan memori saya saat duduk di SMP. Sebuah sekolah berlabel Islam yang mata pelajaran utamanya adalah baku hantam. Di sekolah sederhana itu, orangtua saya menaruh harapan; anaknya mengerti agama lebih dari sebelumnya, atau lebih dari orang lain.

Dengan tingkat intelejensi seadanya, saya rekam beberapa kalimat yang berhasil tersaring dengan baik—dari kalimat-kalimat negatif tak penting yang tiap hari muncrat dari para pengajar. Di antaranya: 

“Dalam Islam, pacaran sebelum nikah itu haram.”
“Perempuan yang tidak menutup auratnya tidak akan masuk surga.”
“Kalian itu bejat karena waktu bikinnya orangtua kalian dak baca doa!” yang terakhir ini barangkali kurang kecil lubang saringnya.

Tapi begitulah, saya simpan kalimat benar dan tidak benar itu pada ruang terbaik di kepala, gunanya untuk mengisi titik-titik di lembar soal ujian, atau menyilang satu huruf yang dianggap terbaik dari empat huruf lainnya, jika soalnya pilihan ganda.

Mempraktikkan ilmu, bagi saya saat itu, adalah hal yang saya belum cukup umur untuk melakukannya. Pasalnya, sang guru yang sehari-hari berbuih mengumandangkan fatwa halal haram nyatanya belum merasa perlu membumikan khutbahnya. Guru Bahasa Arab kami berpacaran padahal belum menikah, pacarnya tidak berjilbab pula.

Maka melihat teman dan kakak kelas yang di sekolah berjilbab, sedangkan di rumah berketat ria sambil asoy geboy dengan pujaan hati, tidak membuat saya merasa melihat sesuatu yang salah. Mereka mematuhi gurunya.

Masuk SMA, saya terpicing tiap kali melihat lambaian putih bersih bergelombang melewati kelas. Mereka kakak-kakak kelas yang tergabung dalam RAISSA, Remaja Islam Smansa, Rohis sekolah saya. Jilbab mereka panjang, yang depan menutupi hingga bawah dada, bagian belakang menutupi lekuk pinggang bahkan hingga ke paha.

Memang, saya kagum pada pakaian mereka, wajahnya juga sejuk. Tapi kawan-kawan di SMP juga berjilbab, nanti di rumah mereka pakai tanktop dan nangkring di boncengan motor cowoknya, begitu pikir saya.

Kelak, dalam hitungan bulan, satu per satu penghuni kelas menyusul berjilbab. Lalu mereka berpolah sama dengan kakak-kakak kelas yang anggun itu. 

Mendebat anak-anak Rohis rasanya mengasyikkan sekali, mereka tidak akan marah walau kalimatnya berhasil dipatahkan hanya dengan satu dua ayat atau hadits yang saya hapal, bekal dari SMP. Tak sia-sia pipi kebas, buah karya algojo khusus hapalan. Saya merasa jauh melampaui mereka dalam hal keilmuan. 

Tapi implementasi dari ilmu yang sebenarnya hanya secuil itu? Saya mengalah saja pada anak-anak Rohis. 

Setelah lama bergaul dengan mereka, saya dapati tak satu pun dari orang-orang pengalah itu yang membuka sekadar betisnya di depan laki-laki bukan muhrim, tidak di sekolah, tidak pula di rumah atau di jalanan. Mereka tidak enggan bertanya saat belajar, tapi malu luarbiasa jika mencontek. Saya jadi ingat pesan seorang guru, “Jika ingin melihat koruptor masa depan, lihat saja orang-orang yang mencontek saat ini, itulah mereka.”

Saat itu saya juga mencontek, dengan prinsip ‘hidayah Allah belum sampai ke saya’. Alhamdulillah, di kehidupan selanjutnya, saya dapatkan pencerahan yang insyaallah mencerahkan cara berpikir saya tentang Islam. Bukan sekadar tekstual, tapi pengamalan. Bukan isme kekerasan tapi keyakinan yang mendamaikan. Buah hasil dari Rohis sekolah terpapar di depan mata saya, hampir tiap hari saya temui.

Di tempat kerja, pemimpin dan teman-teman saya adalah orang-orang jebolan Rohis di beberapa tingkat pendidikan mereka. Bahkan hingga saat ini, mereka aktif membina Rohis-rohis di sekolah bermodal pemahaman dan teladan. Di tempat biasa, mungkin tidak akan saya temui seorang bos yang meminta maaf pada bawahannya, karyawan yang menuliskan tanda minus di kolom absen sedangkan ia hanya terlambat satu menit. Atau selembar sepuluh ribu yang terbang ke sana kemari ditiup kipas angin tanpa satu tangan pun berani mengklaim uang itu miliknya. Lebih baik tidak diambil daripada terambil milik orang, semua berpikir seragam. Saya yakin, tidak banyak tempat yang menyediakan makhluk Tuhan demikian beretika.

Sekolah tempat saya bekerja, dengan civitas yang tidak menjadikan ketulusan sebagai kedok, insyaallah berhasil merekrut para siswa, yang orangtuanya tersentuh hati oleh keteladanan di depan mata. Bukan dengan uraian teori yang difasih-fasihkan, tapi dari perilaku, yang tak perlu dinilai lisan, tapi lihat saja dengan mata dan hati terbuka.

Rohis, bagi saya, adalah solusi bagi kebangkrutan moral bangsa. Indonesia telah gemuk dengan orang-orang yang berprestasi secara akademik, orang-orang berbakat, orang-orang cerdas. Tapi apalah manfaatnya jika mental orang-orang berkelebihan itu anjlok, justru kecerdasannya membahayakan orang-orang di sekitarnya, yang jauh apalagi yang dekat.

Rohis adalah lembaga pendidik mental, perangkat wajib bagi sekolah-sekolah yang ingin mencetak generasi berkarakter baik, bermental baik, dan menginginkan kebaikan tidak hanya untuk dirinya saja, tapi bagi semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar