Selasa, 18 September 2012

Kemenangan Ruqaya


Sebelumnya tak ada pilihan bagi atlet berjilbab. Hassiba Boulmerka, peraih medali emas untuk kategori lari 1.500 meter memilih berlaga dengan mengenakan pakaian olahraga pria.
Senin, 11 agustus 2008 lalu, tak akan pernah dilupakan Ruqaya Al-Ghasara, sprinter asal Bahrain. Ia mencatatkan namanya sebagai perempuan Muslim berjilbab pertama yang meraih medali emas dalam Olimpiade Beijing 2008.
Kemenangan Ruqaya adalah “kemenangan” jilbab, bahwa ajang sekaliber Olimpiadepun kini respek terhadap busana Muslimah tersebut. “Jilbab tak pernah menjadi masalah bagiku,” ujarnya, ditanya tentang pilihannya berjilbab.
Tak hanya Ruqaya seorang atlet yang tetap berjilbab ketika berlaga. Banyak atlet berjilbab yang ikut serta dalam olimpiade tahun ini, yang berlangsung di Beijing, China. Keberadaan mereka bukan hanya mengikis stereotip Negara-negara Barat terhadap Muslimah berjilbab tapi juga membuktikan jilbab bukan halangan untuk mencetak prestasi dalam kehidupan dan olahraga.
Selain Ruqaya, ada enam atlet perempuan Mesir yang mengenakan jilbab, tiga atlet asal Iran, satu atlet asal Afghanistan dan Yaman. Mereka adalah atlet-atlet yang akan bertanding di cabang olahraga lari sprint, mendayung, taekwondo dan panahan.
Atlet anggar asal Mesir Shaimaan El-Gammal, mengenakan jilbab untuk Olimpiade Beijing. Dalam olimpiade sebelumnya, dirinya berlaga dengan menanggalkan jilbabnya.
Ia mengatakan sangat bangga menjadi seorang Muslimah ketika tampil bertanding anggar. “Jilbab adalah sesuatu yang sangat simbolis bagi saya,” kata El Gammal, lajang berusia 28 tahun.
Menurut El Gammal, jilbab memberikan kekuatan dalam dirinya. “Banyak orang melihat kami yang mengenakan jilbab dan berfikir kami sedang naik unta. Padahal seorang Muslimah biasa melakukan apa saja yang mereka inginkan, kendati berjilbab,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Ruqaya. Ia mengatakan, kaum perempuan dikampung halamannya di Bahrain sangat bangga dengan prestasinya hingga bias mewakili negaranya di ajang olimpiade. Sebagian dari mereka, bahkan membantu Ruqaya mendesain dan menjahitkan jilbab yang sudah dipikirkan masalah aerodinamisnya agar Ruqaya bias tampil maksimal saat bertanding.
“Di Bah rain, tempat saya dibesarkan, kaum perempuan banyak yang menjadi duta besar, dokter bahkan pilot. Buat saya, jilbab adalah pembebasan,” ujar Ruqaya yang selalu mengenakan jilbab berwarna merah putih, khas bendera negaranya.
Sempat Menjadi Polemik
Sebelumnya, muslimah berjilbab dalam pertandingan olahraga berskala internasional selalu diperdebatkan. Saat itu, sebagian orang memandang pelarangan itu adalah karena pemakaian jilbab bias memunculkan sentiment ras dan etnik. Yang lain mengangkat alasan bahwapelarangan itu hanyalah untuk keamanan dan kenyamanan saat bertanding saja.
Medio Maret 2008 lalu, seorang pemain sepakbola perempuan berjilbab dianulir kesertaannya di Quebeck. Pelarangan ini lalu memunculkan debat panjang di Kanada, terlebih ketika Dewan Federasi Internasional Sepakbola secara khusus mengeluarkan peraturan internasional yang mendukung langkah pelarangan tersebut. Disebutkan, “Prinsip keempat yang membatasi kostum pemain adalah kostum pemain sepakbola yang terdiri dari kaus dan celana pendek, kaos kaki, serta sepatu olahraga.
Setelah kasus itu, Muslim Kanada mengancam akan mengajukan laporan kepada Lembaga HAM PBB untuk menggugat kebijakan FIFA yang menolak kesertaan wanita berjilbab dalam turnamennya.
Dua bulan kemudian, saat kejuaraan taekwondo dunia hendak digelar di Quebeck, Kanada, larangan jilbab masuk ke arena Taekwondo dikeluarkan oleh Federasi Taekwondo Internasional (ITF) beberapa minggu menjelang bertandingan berlangsung. Sempat menuai debat panjang, akhirnya ITF memperbolehkan peserta turnamen taekwondo untuk mengenakan jilbab dalam pertandingan internasional yang dilakukan akhir Mei 2008.
Presiden ITF, Tran Triue Quan, mengatakan, “Ada keinginan untuk mengambil sikap final untuk masalah jilbab setelah dilakukan kajian dari berbagai sisinya.” Tim kajian itu tambahnya mendiskusikan berbagai aspek terkait symbol agama saat berlangsungnya turnamen.
Sebelum Olimpeade Beijing; Tak Ada Pilihan
Jilbab dalam olimpiade sudah diperdebatkan jauh hari sebelumnya. Beberapa atlet berjilbab memilih minggir dan hanya bertanding di forum-forum di negerinya atau paling banter di ajang The Muslim Women’s Games yang biasanya diselenggarakan oleh Negara-negara di Timur Tengah. Bukan sebuah forum bergengsi.
Atau, bila ingin mengadu peruntungan di forum internasional, mereka harus rela menanggalkan jilbabnya. Sebut misalnya pelari asal Aljazair, Hassiba Boulmerka. Ia yang meraih medali emas untuk nomor lari 1.500 meter dalam Olimpiade Atlanta ini memilih berlaga dengan pakaian olahraga pria. Itupun ia harus menanggung konsekuensi lain, dicibir media di negaranya. “Dia bertelanjang didepan ribuan pria,” begitu penghakiman media terhadap dirinya.
Beberapa cabang olahragamemang tidak mempersoalkan jilbab. Dalam Olimpiade Atlanta misalnya, atlet putrid asal Iran bebas berlaga dengan jilbabnya dicabang olahraga menembak dan kano/kayak. Ini pula yang disentil Dr. Ghafouri Fard, pimpinan Physical Education Organization of Iran, “Tak ada ruginya bagi dunia dan Olimpiade bila mereka berlaga dengan tetap mengenakan jilbabnya.”
Mengenai larangan perempuan berjilbab dalam forum Olimpiade ditepis Anita Defrantz, representative International Olympic Comitte (IOC) dari Amerika Serikat. Menurut dia, regulasi mengenai penggunaan seragam dalam olahraga ada pada masing-masing Negara. It’s nonsense. Tak ada aturan yang melarang bahwa atlet yang berlaga di Olimpiade tidak boleh mengenakan jilbab,” tegasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar